Problematika Pasangan Pernikahan Dini Di Kecamatan Simpang Kiri

Asmadin, S.Sos.I

 A.    Pendahuluan

Pernikahan merupakan kebutuhan dasar (kebutuhan biologis) setiap manusia dewasa yang berlainan jenis dalam melanjutkan keturunan. Fitrah kemanusiaan (gharizah insaniyah) ini adalah bagian naluri sifat pembawaan  manusia sebagai makhluk Allah Swt.

Faktanya di Indonesia, pernikahan di bawah umur sering terjadi, terutama didaerah-daerah tertentu yang masih memegang erat budaya menikahkan anak ketika lulus sekolah di beberapa daerah terpencil di Indonesia. (Maudina, 2019; Sardi, 2016) dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 dan dijelaskan dalam pasal 7 ayat (1) di Indonesia minimal usia menikah untuk laki-laki dan perempuan yakni 19 tahun. Berbeda dengan undang-undang, BKKBN menetapkan usia pernikahan yakni 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun laki-laki. Pada usia tersebut dianggap telah matang secara fisiologi, psikologi, sosial dan ekonomi (Abdul Rahim & Dilawati, 2022). Menurut penelitian fitri sari dan Euis Sunarti Usia ideal menikah bagi laki—laki dan perempuan menurut mahasiswa adalah 26 Tahun bagi laki-laki dan 23 tahun Bagi perempuan.(Sari & Sunarti, 2013)

 

Kesiapan menikah adalah kondisi mental seseorang terhadap kesiapan emosi, kesiapan sosial, kesiapan peran, kesiapan finansial, kesiapan spiritual, kesiapan reproduksi, kematangan usia dan kemampuan berkomunikasi untuk menyandang peran barunya yaitu sebagai suami atau isteri.

Mengenai kesiapan menikah ini diterangkan dalam Al-quran surah An-Nur ayat 32 menjelaskan

  وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن يَكُونُواْ فُقَرَآءَيُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ

 

Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.

 

Dilihat dalam konteks waktu sekarang ini, ayat ini menjadi acuan bahwa yang hendak ingin menikah harus memiliki kesanggupan atau persiapan, Secara psikologi diantaranya, kesiapan mental, kebesaran jiwa, dan kemampuan lahir dan batin, dan yang terakhir adalah kemampuan untuk membina ketahanan rumah tangga agar terciptanya keluarga yang diidamankan.

Untuk wilayah Subulussalam dengan banyaknya dispensasi pernikahan pada kantor urusan agama kecamatan simpang kiri terjadi sebanyak 19 kasus pada tahun 2022 dengan proporsi penduduk perempuan usia 10 Tahun ke atas yang pernah kawin menurut Usia perkawinan pertama di kota Subulussalam tahun 2015-2017. (BPS. 2019)

Penyebab terjadinya pernikahan dini di wilayah kecamatan simpang kiri dikarenakan faktor ekonomi, pendidikan, adat istiadat, pergaulan bebas sehingga menyebabkkan kehamilan pra nikah, dan faktor regulasi adanya dispensasi nikah dari mahkamah syariyyah. Pada tahun 2023 pernikahan dini di kecamtan simpanag kiri terjadi pada. Pemilihan kecamatan Simpang kiri dikarenakan tingginya jumlah peristiwa pernikahan dan tingginya jumlah pernikahan dini di Kota Subulussalam dari pada Kecamatan Lain.

Pernikahan di Kota Subulussalam tertinggi pada kecamatan Simpang kiri, data pernikahan tahun 2023 dari 3 Kecamatan kecamatan Simpang Kiri dengan jumlah pernikahan 265 Pasang dengan pernikahan Dini 14 Pasang, Kecamattan Sultan Daulat 157 Pasang pernikahan dengan 3 pasang pernikahan dini sementara kecamatan Longkib nol.

Terkait tentang pernikahan dini merupakan hal yang sangat menarik untuk diteliti, meskipun banyak orang-orang terdahulu sudah melalukan penelitian ini. Hal ini disebabkan karena banyaknya keberagaman dan peliknya kasus terkait dengan fenomena pernikahan dini hingga saat ini. Penelitian ini dimaksudkan untuk memperkaya pengetahuan kita terkait dengan motivasi pernikahan dini dan melihat kenyataan yang masih kunjung marak terjadi, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini

  1. Pertanyaan Penelitian

1.    Bagaimanakah perspektif tentang pernikahan dini pada keluarga yang melakukan pernikahan dini kecamatan Simpang Kiri?

2.    Bagaimanakah ketahanan keluarga pada pernikahan pada keluarga yang melakukan dini kecamatan Simpang Kiri?

3.    Bagaimana dinamika ketahanan keluarga yang menikah pada usia dini serta faktor apa saja yang melatarbelakanginya?

4.    Bagaimana dinamika pernikahan dini dalam mewujudkana ketahanan keluarga dan implikasinya pada konseling pranikah di KUA kecamatan Simpang Kiri?

  1. Defenisi Istilah

1.       Pernikahan dini

Menurut (Mujiburrahman et al., 2021), pernikahan usia muda (dini) merupakan pernikahan yang dilakukan individu dimana perempuan dibawah usia 20 tahun sedangkan pria dibawah usia 25 tahun. Jadi pernikahan dini adalah remaja yang melakukan pernikahan dengan usia yang belum sesuai dengan aturan pemerintah yakni laki-laki belum mencapai usia 25 tahun dan perempuan belum mencapai usia 20 tahun. Pernikahan dini dalam penelitian ini adalah anak remaja yang belum cukup umur tetapi sudah melakukan pernikahan di desa Hutabaringin.

2.       Ketahanan Keluarga

Dalam buku sosiologi keluarga Ketahanan keluarga atau family strength merupakan sebuah kondisi keseimbangan dan kehidupan atas sumber daya serta pendapatan dalam memenuhi seluruh kebutuhan primer diantaranya adalah: pangan, perumahan, air yang layak dikonsumsi, kesempatan pendidikan, fasilitas kesehatan, momen untuk beradaptasi dalam masyarakat dan integrasi sosial

 


 

 

D.    Problematika Materi Kehidupan Pasangan Pernikahan Dini.

Problematika materi dalam kehidupan pasangan pernikahan dini merupakan kebutuhan keluarga yang bersifat materi dan membutuhkan dukungan finansial. problematika materi terkait dengan keuangan, kebutuhan rumah tangga, tempat tinggal, dan tantangan ekonomi. Dalam hal ini akan dipaparkan berdasarkan kebutuhan fisik itu sendiri.

1        Keuangan:
Pasangan menikah dini umumnya belum memiliki pekerjaan tetap, masih bergantung pada orang tua, dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga.

2        Pekerjaan:
Pendidikan rendah (tamat SD atau SMA) menyebabkan keterbatasan akses kerja. Banyak yang bekerja sebagai buruh lepas atau guru TPA dengan penghasilan minim.

3        Tempat Tinggal:
Mayoritas tinggal bersama orang tua atau mertua karena tidak mampu memiliki rumah sendiri. Privasi terbatas dan sering menimbulkan konflik.

4        Tantangan Ekonomi:
Ketidakstabilan pendapatan dan beban pengeluaran meningkat pasca memiliki anak. Hal ini memicu stres, ketergantungan finansial, dan rawan konflik.

5        Harapan Pasangan:
Mereka berharap mendapatkan pekerjaan layak, keterampilan, dan ekonomi mandiri agar tidak terus bergantung pada orang tua.

E.     Problem Psikologis  

Problem Immateri memainkan peran krusial dalam membentuk realitas kehidupan pasangan pernikahan dini. Problem immateri berkaitan dengan prasaan, pemicu, mengelola emosi, dukungan emosi, dan harapan.1,

1.      Penyesuaian Diri:
Pasangan muda sering kesulitan beradaptasi dengan peran baru sebagai suami/istri. Ketidaksiapan emosional memicu kecemasan, depresi, dan konflik rumah tangga.

2.      Komunikasi:
Kurangnya keterampilan komunikasi menyebabkan kesalahpahaman dan jarak emosional antar pasangan.

3.      Kesalingan dan Peran:

Relasi tidak seimbang — sering kali suami mendominasi, sedangkan istri merasa tidak berdaya. Kurangnya kemampuan kompromi memperpanjang masa adaptasi dan meningkatkan risiko perceraian.

Pernikahan dini pada dasarnya dilakukan oleh individu yang belum matang secara usia dan tanggung jawab. Dampaknya sangat kompleks, meliputi:

4.      Psikologis: stres, depresi, trauma, kecemasan.

5.      Fisik: risiko kesehatan ibu dan anak (anemia, kematian, bayi lahir rendah).

6.      Sosial: putus sekolah, kemiskinan, ketergantungan ekonomi.

7.      Keluarga: rawan konflik, KDRT, ketidakharmonisan.

Faktor penyebab dominan meliputi: ekonomi, rendahnya pendidikan, budaya menikah muda, pergaulan bebas, serta kemudahan dispensasi nikah dari pengadilan agama. Walaupun sebagian menganggap pernikahan dini positif karena menghindari zina dan dianggap meringankan beban orang tua, namun secara umum dampak negatifnya lebih besar dan berpotensi menurunkan kualitas generasi keluarga.

F.      PEMBAHASAN

Problematika kehidupan pasangan pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh individu yang masih dalam usia muda, umumnya di bawah usia 18 tahun. Yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang berusia masih di bawah batas minimum yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Pernikahan dini banyak sekali mengundang permasalahan dalam rumah tangga, masalah dan perbedaan paham menjadi pemicu konflik, serta belum mampu menyikapi persoalan-persoalan yang ada dalam rumah tangga (Juliana & Manja, 2021). Dampak yang bisa dirasakan dapat mempengaruhi pola pengasuhan dan kurang kesiapan mental dari orang tua nya. (Dela Salsabila Putri & Nurwati, 2024). Ketidaksiapan emosional dan finansial pasangan muda menjadi penyebab  berdampak pada kestabilan sosial dan psikologis, (Rizaludin, 2025).

Amin & Rosyidha, (2023) menyatakan bahwa akibat dari pernikahan dini menjadi penyesalan bagi pelaku serta membuat malu dirinya sendiri ataupun keluarganya. Mereka melakukan hal itu di dorong karena rasa penasaran dan didukung oleh hasrat nafsu menggebu-gebu sehabis melakukan hal itu condong merasa puas tanpa adanya pemikiran panjang dikarenakan banyak berbagai faktor diantaranya karena sama sama ingin tau dan ingin mencoba.

Maraknya pernikahan dini di tengah-tengah masyarakat saat ini, disebabkan oleh beberapa faktor (Widianto, Amalia, & Muhammadiyah Kalimantan Timur, 2022), (Umar, Syarifuddin, Ihwan, & Kuriawansyah, 2022) yakni: 1) dispensasi kawin (Rohmatzzuhriyah, Saiban, Soedjatmiko, & Laila, 2022) 2) faktor Ekonomi 3) faktor pendidikan, 4) malu dan menjadi aib melkukan zina, 5) faktor media massa dan internet, mengakses konten pornografi (Triadhari, Afridah, & Salsabila, 2023). (Metasari et al., 2022) (Sekarayu & Nurwati, 2021) (Maulida, 2022)

Pernikahan dini menimbulkan resiko dampak negatif di antaranya adalah: 1) gangguan mental secara psikis seperti depresi, kecemasan, gangguan disosiatif atau kepribadian ganda, dan trauma psikologis karena belum mampu mengelola emosi dan memutuskan sesuatu dengan baik, sehingga jika mengalami konflik, pasangan suami istri remaja ini menyelesaikan masalahnya dengan kekerasan; 2) gangguan fisik yang pada dasarnya tubuh wanita remaja belum terlalu kuat untuk mengandung dan melahirkan, sehingga sangat rentan terjadi keguguran; 3) beberapa pasangan suami istri remaja tidak dapat menemukan cara yang sehat dan tepat untuk mengekspresikan emosi atau mencari distraksi saat menghadapi stres yang diakibatkan oleh masalah rumah tangga, akibatnya tempat pelariannya ke rokok, narkoba, judi, dan minuman keras ; 4) tekanan sosial, misalnya keluarga, kerabat, tetangga dan masyarakat dapat membawa suatu beban tersendiri bagi pasangan suami istri remaja. (Anam et al., 2022; Risnawati, Hamka, & Saputri, 2022)

Pada hakikatnya pernikahan dini adalah pernikahan yang belum memenuhi batas usia yang sesungguhnya. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dikategorikan masih anak-anak (Zulkhairi & Manan, 2021). Pernikahan dini menurut BKKBN adalah pernikahan yang berlangsung pada umur di bawah usia reproduktif, yaitu jika wanita umurnya kurang dari 20 tahun dan pria kurang dari 25 tahun. Ditegaskan pula bahwa jika pernikahan dilakukan di bawah usia reproduktrif, maka sangat rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi, yakni meningkatannya angka kesakitan dan kematian pada saat persalinan dan nifas, melahirkan bayi prematur dan berat bayi lahir rendah serta mudah mengalami stress.

Hanya sedikit dampak positif yang di lakukan dari pernikahan dini yaitu agar kedua pasangan tersebut terhindar dari perilaku seks bebas dan ketika mereka menginjak usia tua kedua pasangan tersebut tidak lagi mempunyai anak yang masih kecil. Hal ini sesuai dengan yang sudah disampaikan oleh informan 3 yaitu dampak positif yang dilakukan dari pernikahan dini baik ditinjau dari segi agama yaitu agar terhindar dari terjadinya zina dan terhindar dari perilaku seks bebas, karena kebutuhan seksual mereka sudah terpenuhi, dan anggapan dari masyarakat yang sudah menjadi stigma jika menikah muda menginjak usia tua mereka tidak lagi mempunyai anak yang masih kecil. Selain hal yang sudah di uraikan di atas dampak positif yang di lakukan dari pernikahan dini ialah dapat mengurangi beban orang tua karena semua kebutuhan anaknya sudah menjadi tanggung jawab suami dan harus dipenuhi oleh suami (Yanti, Hamidah, & Wiwita, 2018).  

Tak sedikit dampak negatif yang di timbulkan dari pernikahan dini yaitu terputusnya pendidikan anak di karenakan pernikahan dini. terputusnya pendidikan pada anak sangat berpotensi pada rendahnya tingkat pengetahuan dan akses informasi pada anak. kemiskinan sangat memungkinkan pada pernikahan dini ini karena kedua pasangan tersebut yang menikah dini kebanyakan masih belum memiliki penghasilan yang cukup dan bahkan masih belum bekerja. Hal inilah penyebab pernikahan di usia dini rentan dengan kemiskinan.

Kekerasan dalam rumah tangga: kekerasan pada pasangan dalam pernikahan dini ini sangat rentan terjadi karena kondisi psikis kedua pasangan yang masih labil sehingga menyebabkan emosi dan berdampak pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Kesehatan psikologi anak: dalam pernikahan dini ibu yang mengandung di bawah umur akan menyebabkan terjadinya stress, trauma berkepanjangan, kurang pengetahuan dan juga mengalami kurang kepercayaan diri.

Masalah pada anak yang dilahirkan: pada saat seorang perempuan yang masih berada pada masa pertumbuhan dan mengalami proses kehamilan, maka akan terjadi persaingan nutrisi dengan janin yang dikandungnya, hal itu akan penyebab berat badan ibu hamil sering sulit naik, dan disertai dengan anemia karena defisiensi nutrisi, serta berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir yang rendah. Menurut penelitian sekitar 14% bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 17 tahun adalah bayi prematur. Anak berisiko mengalami perlakuan kurang baik atau ditelantarkan. Berbagai penelitian jyga menunjukkan bahwa seorang anak yang dilahirkan dari pernikahan usianya yang masih muda berisiko mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan juga cenderung akan menjadi menikah di usia dini (Mubasyaroh, 2016).

Setelah menikah pasangan pernikahan dini tidak terlepas dari problem kehidupan seperti kebutuhan rumah tangga, keuangan, masalah tempat tinggal, kegiatan sosial dan rekreasi bersama pasangan dalam rangka mewujudkan harmonisasi pasangan. (Sudirman, Mustaring, & Fitri, 2022) salah satu fungsi keluarga ialah fungsi social yang merubah status sendiri menjadi keluarga.

Selain itu, masalah tempat tinggal sering kali menjadi isu krusial. Banyak pasangan pernikahan dini yang terpaksa tinggal bersama di rumah orang tua atau menyewa tempat dengan fasilitas yang minim kesar karena belum mampu memiliki rumah sendiri. Banyak pasangan pernikahan dini yang terpaksa tinggal Lingkungan yang kurang memadai ini sering kali tidak mendukung tumbuh kembang keluarga yang sehat, baik secara fisik maupun emosional. (Barus & Fadillah, 2023; Khaerani, 2019)

Di sisi lain, keterbatasan finansial sering membuat pasangan ini kesulitan memenuhi kebutuhan sosial dan rekreasi. Sebagai pasangan muda, Aktivitas bersosialisasi atau menghabiskan waktu bersama di tempat rekreasi kerap menjadi hal yang mewah. Padahal, kegiatan semacam ini penting untuk menjaga keseimbangan emosi dan mengurangi stres dalam kehidupan rumah tangga. Akibatnya, hubungan mereka rentan terhadap kejenuhan dan stres yang dapat memengaruhi kualitas pernikahan.(Kamila, Sunariyah, Hipni, & Mawardi, 2024) Sebagaimana temuan terkait dinamika problem materi kebutuhan rumah tangga pada pasangan keluarga dini diperoleh informasi data yaitu tidak terpenuhi kebutuhan pribadi isteri dan kebutuhan anak. serta orangtua masih turun tangan membantu belanja dapur.

Perasaan sakinah mawaddah wa rahmah merupakan cita-cita setiap pasangan yang hadir melalui pernikahan. Namun dalam perjalanan pernikahan pasangan dini membutuhkan penyesuaian kebiasaan diri. baik dalam perkawinannya. Sedangkan penyesuaian merupakan hal sulit dalam perkawinan dan merupakan salah satu penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan jika tidak dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan mengenai masalah ini (Syahrir, 2017).  Cinta merupakan perasaan simpati dalam diri manusia yang melibatkan emosi mendalam, dengan artian bahwa emosi positif tersebut sangat diinginkan dan penting bagi kehidupan manusia dalam menjalin suatu hubungan. Pengekspresian cinta melalui perilaku ataupun sikap yang dilakukan oleh individu kepada pasangannya sangatlah penting karena pada dasarnya cinta tidak bisa dipisahkan dari ekspresi. Ekspresi adalah hal penting, karena melalui ekspresi esensi dari cinta dapat dirasakan dan dapat dinikmati.

Tidak semua pasangan Komunikasi merupakan kunci hal yang penting dalam sebuah pernikahan. Sebab dengan komunikasi yang harmonis maka segala permasalahan yang muncul dalam pernikahan baik materi maupun non materi dapat terselesaikan dengan sukses. (Dwima, 2019) Ketenangan lahir dan batin menimbulkan kebahagiaan dan kasih sayang (Adam, 2020) Komunikasi efektif merupakan elemen kunci dalam mengekspresikan cinta. Pasangan muda yang belum terampil dalam berkomunikasi cenderung mengalami kesalahpahaman, sehingga cinta sering kali tidak tersampaikan dengan baik. Hal ini dapat memperburuk dinamika hubungan dan menciptakan jarak emosional.

Penyesuaian perkawinan merupakan keterampilan sosial yang dibutuhkan pasangan untuk menemukan kebahagiaan dan kepuasan dalam pernikahannya. Selain itu perasaan negatif munculnya rasa cemas, perempuan yang menikah dini lebih mudah mengalami kecemasan dan depresi ketika ada masalah di rumah karena tidak mampu berpikir rasional saat menyelesaikan masalah (Ningsih & Rahmadi, 2020; Sari & Puspitari, 2022) kebahagiaan yang dirasakan pasangan muda diawal pernikahan berkaitan dengan perasaan bahagia dan senang (Fatimah & Nuqul, 2018).

Kebahagiaan muncul salah satunya karena ada penyesuaian pasangan dan penyesuaian seksual. Penyesuaian pasangan berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi serta menyesuaikan diri dengan baik dalam perkawinannya sedangkan penyesuaian merupakan hal sulit dalam perkawinan dan merupakan salah satu penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan jika tidak dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan mengenai masalah ini (Syahrir, 2017).

Kesalingan dalam hubungan pernikahan dini sering kali terganggu oleh peran yang tidak seimbang. Ketidaksiapan untuk berbagi tanggung jawab, baik secara emosional maupun praktis, dapat menimbulkan frustrasi dan ketidakpuasan dalam hubungan.(Hermanto, 2022; Weldra Ayu Putri & Salma, 2024) Pernikahan dini membutuhkan kemampuan adaptasi yang tinggi karena pasangan sering kali masih dalam tahap membangun identitas diri. Ketidaksiapan untuk berkompromi dan menyatukan visi dalam kehidupan pernikahan dapat memperpanjang masa adaptasi atau bahkan memicu konflik berkepanjangan.

Penyesuaian diri ini penting agar pasangan bisa lebih mengenal satu sama lain dan nantinya bisa beradaptasi dengan perbedaan yang ada. Dengan demikian pasangan dapat menghindari konflik-konflik yang mungkin terjadi karena adanya perbedaan. Beberapa faktor yang mempengaruhi dalam penyesuaian diri dalam hubungan diantaranya value, akulturasi, agama, ras, namun Keberhasilan dalam menyesuaikan diri kembali lagi pada seberapa besar usaha yang dilakukan oleh masing-masing individu untuk mau beradaptasi dengan pasangannya.

 


 


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahim, R. A., & Dilawati, R. (2022). Causes and Impacts of Early Marriage: A Phenomenological Study in the Cimarel Hamlet Community, West Bandung Regency. TEMALI : Jurnal Pembangunan Sosial, 5(1), 29–44. https://doi.org/10.15575/jt.v5i1.16085

Hamzah B. Uno. (2016). Teori Motivasi dan Pengukurannya: Analisis di Bidang Pendidikan (1st ed.). Bumi Aksara. https://books.google.co.id/books?id=v_crEAAAQBAJ&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false

Hidayah, N. (2021). Implementasi Ayat 32 dan 33 Surat An-Nur Tentang Penyegeraan dan Penundaan Pernikahan. Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam, 7(1), 34–52. https://doi.org/10.34001/istidal.v7i1.2149

Irman, N. E. (2015). pengaruh konseling pranikah solution focused terhadap peningkatan konsep keluarga saimah calon pengantin. November, 28–29.

Maudina, L. D. (2019). DAMPAK PERNIKAHAN DINI BAGI PEREMPUAN. Jurnal Harkat : Media Komunikasi Gender, 15(2), 89–95. https://doi.org/10.15408/harkat.v15i2.13465

Mujahidin;, S., & Amini, E. I. A. (2018). Penguatan Ketahanan Keluarga (F. Nurcahayani (ed.); 1st ed.). BPPAUD. https://repositori.kemdikbud.go.id/18360/1/buku-seri-orang-tua-ketahanan-keluarga.pdf

Mujiburrahman, Nuraeni, Astuti, F. N., Muzanni, A., & Muhlisin, M. (2021). Pentingnya Pendidikan Bagi Remaja Sebagai Upaya. COMMUNITY: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1), 36–41.

Musfiroh, M., Mulyani, S., Cahyanto, E. B., Nugraheni, A., & Sumiyarsi, I. (2019). Analisis Faktor-Faktor Ketahanan Keluarga di Kampung KB RW 18 Kelurahan Kadipiro Kota Surakarta. PLACENTUM: Jurnal Ilmiah Kesehatan Dan Aplikasinya, 7(2), 61. https://doi.org/10.20961/placentum.v7i2.32224

Sardi, B. (2016). Faktor-Faktor Pendorong Pernikahan Dini Dan Dampaknya Di Desa Mahak Baru Kecamatan Sungai Boh Kabupaten Malinau. EJournal Sosiatri-Sosiologi, 4(3), 194–207. https://ejournal.ps.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2016/08/Jurnal Online (08-29-16-07-11-46)

Sari, F., & Sunarti, E. (2013). Kesiapan Menikah pada Dewasa Muda dan Pengaruhnya terhadap Usia Menikah. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen, 6(3). https://doi.org/10.24156/jikk.2013.6.3.143

Susanto, A., Mindarsih, E., Kesehatan, F. I., Yogyakarta, U. R., Bersama, P. H., Tegal, K., Tengah, J., & Gunungkidul, K. (2022). Karakteristik remaja putri pelaku pernikahan dini 1. 14, 19–26.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komunikasi Efektif dalam Keluarga Kunci Membangun Hubungan yang Harmonis

Metode Tsaqifa Dalam Pembelajaran Membaca Al-Qur’an